They open the box, which contains a giant television. Mereka membuka kotak, yang berisi sebuah televisi raksasa. Patrick and SpongeBob throw the television away and keep the box. Patrick dan SpongeBob membuang televisi dan simpan kotak. Squidward asks why they threw the television away, and SpongeBob explains that "We don't need television, as long as we have our... imagination." Squidward bertanya mengapa mereka membuang televisi jauh, dan SpongeBob menjelaskan bahwa "Kita tidak perlu televisi, selama kita memiliki ... imajinasi kita." Squidward, not wanting any part of this, asks for the television, and they let him have it. Squidward, tidak ingin bagian manapun dari ini, meminta televisi, dan mereka biarkan dia memilikinya. Once he takes the TV back inside his house, he realizes that the remote control is missing and he goes back outside for it. Sekali ia mengambil TV kembali ke dalam rumahnya, ia menyadari bahwa remote control yang hilang dan ia pergi kembali ke luar untuk itu. He hears SpongeBob and Patrick begin - supposedly - to mountain climb inside the box and, annoyed by their stupidity, he gives the box a hard kick. Dia mendengar SpongeBob dan Patrick mulai - konon - untuk mendaki gunung di dalam kotak dan, terganggu oleh kebodohan mereka, ia memberikan kotak tendangan keras. A sound of an avalanche suddenly erupts from the box, shocking Squidward. Sebuah suara longsoran salju tiba-tiba meletus dari kotak, Squidward mengejutkan. Concerned, he taps the box, prompting another avalanche. Khawatir, ia keran kotak, membuat longsoran yang lain. Squidward hears a critically injured SpongeBob and Patrick saying that their limbs are frozen and that they have to cut them off, and rushes over to the box, opens it, and the noises immediately stop. Squidward mendengar kritis terluka SpongeBob dan Patrick mengatakan bahwa anggota tubuh mereka beku dan bahwa mereka harus memotong mereka pergi, dan bergegas ke kotak itu, membukanya, dan segera menghentikan suara. He questions them about the noises, but they act oblivious and he leaves. Dia pertanyaan mereka tentang suara-suara, tetapi mereka bertindak tidak sadar dan ia pergi. Suddenly, the sound of a helicopter is heard and Squidward ducks. Tiba-tiba, suara helikopter terdengar dan itik Squidward. Realizing that its coming from the box, he angrily opens the box and confronts them again. Menyadari bahwa perusahaan yang berasal dari kotak, ia marah membuka kotak itu dan menghadapkan mereka lagi. SpongeBob simply tells him that all of it is coming from their imagination. SpongeBob hanya mengatakan kepadanya bahwa semua itu berasal dari imajinasi mereka. Squidward says that he has plenty of imagination, to which Patrick replies, "Good, now all you need is a box". Squidward mengatakan bahwa ia memiliki banyak imajinasi, yang Patrick menjawab, "Bagus, sekarang semua yang Anda butuhkan adalah sebuah kotak". Squidward gets a box, attempts to imitate SpongeBob and Patrick's experiences, and fails. Squidward mendapat kotak, mencoba untuk meniru pengalaman SpongeBob dan Patrick, dan gagal. After kicking his box in anger, he hears the sound of police sirens outside. Setelah menendang kotak di marah, ia mendengar suara sirene polisi di luar. Thinking that his kicking of the box is the cause, he goes outside with his box to apologize. Berpikir bahwa dia menendang kotak adalah penyebabnya, dia pergi keluar dengan kotak nya untuk meminta maaf. He is quick to realize that the noises are coming from the box SpongeBob and Patrick are playing in. Furious, he kicks the box he was holding, which Patrick retrieves, saying, "Whoopee! Another Box!" Ia cepat menyadari bahwa suara-suara yang datang dari kotak SpongeBob dan Patrick sedang bermain masuk Furious, dia menendang kotak yang dipegangnya, yang mengambil Patrick, mengatakan, "Whoopee lain Box!"
Squidward then begins watching TV to get his mind off the box, but all the shows that are on involve boxes. Squidward kemudian mulai menonton TV untuk mendapatkan pikirannya dari kotak, tetapi semua menunjukkan yang ada di melibatkan kotak. He then hears a space shuttle launch. Dia kemudian mendengar peluncuran pesawat ruang angkasa. As he tries to think of how they could possibly manage to make such realistic sound effects, it dawns upon him that they are probably using a tape recorder. Ketika ia mencoba untuk memikirkan bagaimana mereka mungkin dapat mengatur untuk membuat efek seperti suara realistis, fajar atas-Nya bahwa mereka mungkin menggunakan tape recorder. Angered, he marches outside and demands the tape recorder from SpongeBob and Patrick. Marah, ia pawai luar dan menuntut tape recorder dari SpongeBob dan Patrick. SpongeBob tells him that they don't have a tape recorder, which Squidward doesn't believe. SpongeBob mengatakan kepadanya bahwa mereka tidak memiliki tape recorder, yang Squidward tidak percaya. He decides to join them in the box to see how they are managing to make the sound effects. Dia memutuskan untuk bergabung dengan mereka dalam kotak untuk melihat bagaimana mereka mengelola untuk membuat efek suara. After being asked where he wants to go, he asks to go to "Robot-Pirate Island". Setelah bertanya di mana dia ingin pergi, dia meminta untuk pergi ke "Robot-Pirate Island". However, he sees nothing but SpongeBob and Patrick closing their eyes and saying stereotypical phrases of robots and pirates (Arrr, You'll walk the plank for that, beep beep, etc.) Squidward returns to his house and soon hears the sounds of an epic robot-pirate battle. Namun, ia melihat apa-apa kecuali Spongebob dan Patrick menutup mata mereka dan berkata frase stereotip robot dan bajak laut (Arrr, Anda akan berjalan di papan untuk itu, bip bip, dll) Squidward kembali ke rumahnya dan segera mendengar suara dari epik pertempuran robot-bajak laut. The show cuts to late at night, when a pirate victory celebration is heard. Pemotongan menunjukkan sampai larut malam, ketika perayaan kemenangan bajak laut terdengar.
Once SpongeBob and Patrick abandon the box and go to bed, Squidward sneaks outside and enters the box, looking for something that would make the noise. Setelah SpongeBob dan Patrick meninggalkan kotak dan pergi tidur, Squidward menyelinap keluar dan masuk kotak, mencari sesuatu yang akan membuat kebisingan. A scan of the box proves that there is no such device in it. Sebuah scan kotak membuktikan bahwa tidak ada perangkat seperti di dalamnya. Realizing that the box is in fact empty, Squidward wonders if it really was their imagination that caused the sound effects, but he immediately dismisses the notion, thinking that it's ridiculous. Menyadari bahwa kotak sebenarnya kosong, Squidward keajaiban jika itu benar-benar imajinasi mereka yang menyebabkan efek suara, namun ia langsung menolak gagasan, berpikir bahwa itu konyol. He mockingly starts pretending to be a race car driver, but suddenly he begins to hear noises. Dia mengejek mulai berpura-pura menjadi pembalap mobil, tapi tiba-tiba ia mulai mendengar suara-suara. He imagines himself racing, and feels all the movements of actually driving a race car. Ia membayangkan dirinya balap, dan merasa semua gerakan untuk benar-benar mengendarai mobil balap. However, in reality, these sounds and movements are due to a garbage truck hauling the box away. Namun, dalam kenyataannya, suara-suara dan gerakan yang disebabkan oleh truk sampah mengangkut kotak pergi. It is then dumped into the landfill, and Squidward flies out of the box, landing face-first in a pie. Hal ini kemudian dibuang ke TPA, dan Squidward terbang keluar dari kotak, wajah-pendaratan pertama di kue. The next day, SpongeBob and Patrick realize the box is gone and they go to check on Squidward. Keesokan harinya, SpongeBob dan Patrick menyadari kotak hilang dan mereka pergi untuk memeriksa Squidward. Patrick says "I hope he's not too down in the dumps today." Patrick mengatakan "Saya berharap dia tidak terlalu turun di hari kesedihan." as the episode ends. sebagai episode berakhir.
MENGGALI
IMAJINASI
Bangsa Indonesia dahulu ketika masih dalam ketiak Belanda mengalami keterkengkangan yang luar biasa, untuk melawan secara fisik bangsa kita masih terlalu lemah, maka nenek-kakek kita saat itu menggunakan imaginasinya untuk melawan. Mereka membuat cerita-cerita yang menceritakan kecerdikan orang-orang tertindas, selain untuk hiburan dari lelahnya raga. Mereka menciptakan tokoh-tokoh cerita yang mewakili pikiran-pikiran kreatif mereka. Lalu muncullah tokoh seperti kancil yang sangat cerdik sehingga si kancil ini bisa keluar dari intaian sang pemangsa seperti harimau dan buaya. Walaupun terjajah, tapi pikiran-pikiran mereka mereka merdeka. Sama halnya orang kulit hitam di Amerika, mereka tertindas seperti bangsa kita, mereka diperbudak oleh bangsa kulit putih yang membawa mereka dari Afrika. Fisik mereka sangat lelah karena diperas untuk bekerja sebagai budak di perkebunan-perkebunan orang kulit putih. Saat senja menjelang, saat itulah mereka lepas dari lelahnya kerja dibawah tekanan, maka mereka berkumpul bernyanyi, bercerita dan bersenda-gurau. Lalu dari cerita itulah mereka menciptakan tokoh-tokoh cerita yang mewakili pikiran mereka. Kalau di Indonesia ada si Kancil, maka orang negro menciptakan tokoh mereka sendiri yaitu Brer Rabbit. Seekor Kelinci yang cerdik yang sanggup mengalahkan sang rubah. Brer Rabbit adalah tokoh yang mereka ciptakan untuk mewakili ketertindasan mereka dari orang kulit putih yang mereka gambarkan sebagai sang rubah. Bangsa kita dulu dan orang kulit hitam yang diperbudak sama-sama terjajah, tapi mereka punya pikiran merdeka sehingga mereka bisa menciptakan tokoh-tokoh mereka sendiri dalam cerita. Sekarang kita melihat kondisi kita sekarang khususnya dunia remaja kita. Kita bukan lagi bangsa yang terjajah secara fisik, tapi pikiran kita tidak demikian. Pikiran kita tidak merdeka untuk membuat tokoh-tokoh pembebas seperti si Kancil dan Brer Rabbit. Pikiran kita terjajah oleh tokoh-tokoh di sinetron kita yang bagi kebanyakan anak Indonesia mungkin tidak seperti yang disajikan, bergelimang harta, kemana-mana naik mobil, makan di restoran, liburan ke luar negeri. Tulisan-tulisan dalam rubrik ini sebelumnya cenderung meletakkan posisi anak dalam jagat sinetron Indonesia sebagai korban dari sinetron itu sendiri, karena memang itulah kenyataannya. Tapi kalau kita berpikir agak melampaui batas, maka kita akan menemukan berbagai akar permasalahan seperti yang sudah ada dalam tulisan-tulisan sebelumnya seperti hedonisme, globalisasi, kapitalisme dan lain-lain. Istilah-istilah yang sangat antah berantah ditelinga kebanyakan orang Indonesia. Tapi ada satu hal lagi yang sebenarnya kita punya potensi yaitu tidak terasahnya imajinasi kita karena kita tidak dibiarkan membuat gambar-gambar seperti yang ada dalam benak kita. Kita sudah disuguhi gambar-gambar yang sudah jadi, kita tinggal menelan saja. Sinetron adalah produk budaya dari sebuah masyarakat. Sinetron atau film adalah sebuah produk seni yang disuguhkan oleh sang sutradara melalui lensa kaca matanya yang mungkin juga dipengaruhi oleh sang producer yang membiayai film atau sinetron tersebut. Jadi sangat mungkin bekal universe dari sang penulis naskah, sutradara dan produser mempengaruhi sinetron atau film yang mereka buat. Lha, kualitas sinetron atau film yang disuguhkan oleh mereka-mereka itu tergantung pada isi otak para pembuatnya. Kalau isinya dhele yang keluar juga tidak akan jauh dari produk dhele, tempe dan tahu yang sangat mungkin akan keluar sebagai hasil olahannya. Seberapa luas pengetahuan dan pengalaman sang pembuat sinetron atau film akan sangat berpengaruh pada hasil produknya. Janganlah kita terlalu berandai-andai kita akan bisa membuat sinetron-sinetron kita sama kualitasnya dengan produk negara-negara yang alam berpikirnya sudah diatas di awang-awang. Marilah kita berpikir realistis, mutu per-sinetron-an kita itulah kualitas berpikir bangsa kita. Kalau isi sinetron kita melulu tentang musuh-musuhan, ya itukan yang kita temui disetiap aspek hidup kita; kalau film kita isinya tentang ngrasani tetangga, ya baru sejauh itulah kualitas omongan kita; jika sinetron kita menampilkan antem-anteman, bacok-bacokan, kita harus mahfum karena itulah cara penyelesaian masalah dinegeri hukum kita. Jadi sinetron kita dalam batasan tertentu juga menampilkan kehidupan nyata disekitar kita, seperti yang dikatakan M. H. Abrams bahwa karya seni adalah refleksi dari kehidupan nyata dari kehidupan nyata. Kembali ke SINETRON. Sinetron atau film adalah adalah barang yang sudah jadi dan tinggal menyantap. Jadi kita tidak terlalu berlama-lama untuk menguntalnya. Otak kita tidak akan banyak bekerja kalau hanya untuk menikmati hidangan yang sudah cumepak di hadapan mata kita. Makanya otak kita harganya mahal karena masih orisinil, belum banyak digunakan. Berbeda kalau kita disuguhi bahan mentah. Gula jawa, kelapa, dan tepung beras adalah bahan mentah yang biasanya digunakan untuk membuat kue-kue tradisional. Dia bisa menjadi klepon, apem, jemblem, dan makanan tradisional yang lain. Perlu kreativitas para pembuatnya untuk menjadikan bahan-bahan mentah tadi menjadi jajanan pasar yang lezat. Novel, cerita pendek, naskah drama adalah bahan-bahan mentah yang nanti akan diolah dalam pikiran kita menjadi gambar-gambar seperti apa yang kita imajinasikan. Perlu kreatifitas otak untuk membuat tulisan-tulisan tadi menjadi sinetron hidup dalam pikiran kita. Sayangnya, kita tidak terlalu terbiasa bergelut dengan bahan-bahan mentah tadi. Kita tidak biasa dan dibiasakan untuk mengasah otak kita untuk berangan-angan sendiri, membuat gambar-gambar sendiri, membuat sinetron-sinetron sendiri. Kita terbiasa dengan barang-barang yang siap konsumsi karena lebih mudah tidak perlu berangan-angan, berimajinasi, membuat gambar sendiri karena gambar itu sudah ada didepan mata kita. Kita tidak peduli apakah gambar itu baik untuk kita yang penting gambar itu sudah ngawe-awe, kita tinggal menagkapnya. Marilah kita kasihani otak kita yang terlalu banyak mengkonsumsi bukan mencipta, jangan biarkan dia menderita obesitas. Biarkanlah otak kita sedikit demi sedikit berlatih mencipta gambar-gambar seperti apa yang dia inginkan, bukan gambar-gambar yang diinginkan oleh sang aktris atau aktor yang mereka sendiri mungkin juga tidak punya otak-otak yang bebas karena mereka diarahkan oleh sang sutradara, juga mungkin sang sutradara otaknya terkekang oleh sang produser, dan bisa saja produser otaknya terbelenggu oleh kinclongnya uang. Barang siapa mengenali dirinya maka dia mengenal Tuhannya. Itu kira-kira bunyi sebuah hadits qudsi yang mungkin membawa kita untuk sedikit merenung apakah benar kita sudah mengenal diri kita. Apakah itu diri kita yang kita lihat di layar televise. Anak SMP atau SMA yang roknya diatas lutut, yang kesekolah membawa mobil. Bahkan orang Jepangpun tertegun tatkala melihat sinetron Indonesia bahwa ternyata Indonesia tidak semerana yang terlihat di Aceh setelah tersapu tsunami, tapi ternyata orang Indonesia sugih-sugih karena mereka melihat di sinetron anak sekolah memakai mobil untuk pergi ke sekolah. Apakah itu kita yang udel-nya selalu terbuka, belahan pantatnya mengundang untuk dijamah, tonjolan payudaranya terguncang-guncang membuat tiap Adam menelan ludahnya. Tapi sinetron juga tidak harus selalu dijadikan bulan-bulanan karena dia hanyalah sebuah produk budaya, sebuah alat. Sinetron tumbuh pesat dalam pertelevisian kita, kita tidak bisa memungkiri hal tersebut. Bahkan ketika petuah, sabda, nasihat, ajaran dari pak kyai, romo, pendeta tidak lagi efektif orang menggunakan media sinetron untuk menyampaikan pesan-pesan tersebut. Walaupun mutu dan keberhasilan penyampaian pesan juga perlu ditimbang kembali. Sinetron tidak bisa kita hentikan, dia akan terus berjalan, kita harus bisa mengawalnya agar menjadi baik dan lebih baik. Maka biarkanlah sinetron jalan terus, tapi kita tidak harus terbelenggu olehnya, oleh tokoh-tokohnya, oleh perilaku tokohnya. Suatu saat ajaklah pikiran kita untuk terhanyut dalam cerita yang yang masih dalam belukar tulisan, bukan cerita yang sudah digambarkan dalam sinetron yang kita tinggal menikmatinya tanpa kita bersusah payah membuat gambar kita sendiri. Berilah kesempatan pada pikiran kita agar dia menggambarkan sendiri sosok Siti Nurbaya, si Doel, Gatotkaca, Den Hardo, Intan, Bawang Merah, Bawang Putih, Sangkuriang, Malin Kundang, Bandung Bondowoso, dan tokoh-tokoh yang lain.