Pages

MENGGALI

                            IMAJINASI

Bangsa Indonesia dahulu ketika masih dalam ketiak Belanda mengalami keterkengkangan yang luar biasa, untuk melawan secara fisik bangsa kita masih terlalu lemah, maka nenek-kakek kita saat itu menggunakan imaginasinya untuk melawan. Mereka membuat cerita-cerita yang menceritakan kecerdikan orang-orang tertindas, selain untuk hiburan dari lelahnya raga. Mereka menciptakan tokoh-tokoh cerita yang mewakili pikiran-pikiran kreatif mereka. Lalu muncullah tokoh seperti kancil yang sangat cerdik sehingga si kancil ini bisa keluar dari intaian sang pemangsa seperti harimau dan buaya. Walaupun terjajah, tapi pikiran-pikiran mereka mereka merdeka. Sama halnya orang kulit hitam di Amerika, mereka tertindas seperti bangsa kita, mereka diperbudak oleh bangsa kulit putih yang membawa mereka dari Afrika. Fisik mereka sangat lelah karena diperas untuk bekerja sebagai budak di perkebunan-perkebunan orang kulit putih. Saat senja menjelang, saat itulah mereka lepas dari lelahnya kerja dibawah tekanan, maka mereka berkumpul bernyanyi, bercerita dan bersenda-gurau. Lalu dari cerita itulah mereka menciptakan tokoh-tokoh cerita yang mewakili pikiran mereka. Kalau di Indonesia ada si Kancil, maka orang negro menciptakan tokoh mereka sendiri yaitu Brer Rabbit. Seekor Kelinci yang cerdik yang sanggup mengalahkan sang rubah. Brer Rabbit adalah tokoh yang mereka ciptakan untuk mewakili ketertindasan mereka dari orang kulit putih yang mereka gambarkan sebagai sang rubah. Bangsa kita dulu dan orang kulit hitam yang diperbudak sama-sama terjajah, tapi mereka punya pikiran merdeka sehingga mereka bisa menciptakan tokoh-tokoh mereka sendiri dalam cerita. Sekarang kita melihat kondisi kita sekarang khususnya dunia remaja kita. Kita bukan lagi bangsa yang terjajah secara fisik, tapi pikiran kita tidak demikian. Pikiran kita tidak merdeka untuk membuat tokoh-tokoh pembebas seperti si Kancil dan Brer Rabbit. Pikiran kita terjajah oleh tokoh-tokoh di sinetron kita yang bagi kebanyakan anak Indonesia mungkin tidak seperti yang disajikan, bergelimang harta, kemana-mana naik mobil, makan di restoran, liburan ke luar negeri. Tulisan-tulisan dalam rubrik ini sebelumnya cenderung meletakkan posisi anak dalam jagat sinetron Indonesia sebagai korban dari sinetron itu sendiri, karena memang itulah kenyataannya. Tapi kalau kita berpikir agak melampaui batas, maka kita akan menemukan berbagai akar permasalahan seperti yang sudah ada dalam tulisan-tulisan sebelumnya seperti hedonisme, globalisasi, kapitalisme dan lain-lain. Istilah-istilah yang sangat antah berantah ditelinga kebanyakan orang Indonesia. Tapi ada satu hal lagi yang sebenarnya kita punya potensi yaitu tidak terasahnya imajinasi kita karena kita tidak dibiarkan membuat gambar-gambar seperti yang ada dalam benak kita. Kita sudah disuguhi gambar-gambar yang sudah jadi, kita tinggal menelan saja. Sinetron adalah produk budaya dari sebuah masyarakat. Sinetron atau film adalah sebuah produk seni yang disuguhkan oleh sang sutradara melalui lensa kaca matanya yang mungkin juga dipengaruhi oleh sang producer yang membiayai film atau sinetron tersebut. Jadi sangat mungkin bekal universe dari sang penulis naskah, sutradara dan produser mempengaruhi sinetron atau film yang mereka buat. Lha, kualitas sinetron atau film yang disuguhkan oleh mereka-mereka itu tergantung pada isi otak para pembuatnya. Kalau isinya dhele yang keluar juga tidak akan jauh dari produk dhele, tempe dan tahu yang sangat mungkin akan keluar sebagai hasil olahannya. Seberapa luas pengetahuan dan pengalaman sang pembuat sinetron atau film akan sangat berpengaruh pada hasil produknya. Janganlah kita terlalu berandai-andai kita akan bisa membuat sinetron-sinetron kita sama kualitasnya dengan produk negara-negara yang alam berpikirnya sudah diatas di awang-awang. Marilah kita berpikir realistis, mutu per-sinetron-an kita itulah kualitas berpikir bangsa kita. Kalau isi sinetron kita melulu tentang musuh-musuhan, ya itukan yang kita temui disetiap aspek hidup kita; kalau film kita isinya tentang ngrasani tetangga, ya baru sejauh itulah kualitas omongan kita; jika sinetron kita menampilkan antem-anteman, bacok-bacokan, kita harus mahfum karena itulah cara penyelesaian masalah dinegeri hukum kita. Jadi sinetron kita dalam batasan tertentu juga menampilkan kehidupan nyata disekitar kita, seperti yang dikatakan M. H. Abrams bahwa karya seni adalah refleksi dari kehidupan nyata dari kehidupan nyata. Kembali ke SINETRON. Sinetron atau film adalah adalah barang yang sudah jadi dan tinggal menyantap. Jadi kita tidak terlalu berlama-lama untuk menguntalnya. Otak kita tidak akan banyak bekerja kalau hanya untuk menikmati hidangan yang sudah cumepak di hadapan mata kita. Makanya otak kita harganya mahal karena masih orisinil, belum banyak digunakan. Berbeda kalau kita disuguhi bahan mentah. Gula jawa, kelapa, dan tepung beras adalah bahan mentah yang biasanya digunakan untuk membuat kue-kue tradisional. Dia bisa menjadi klepon, apem, jemblem, dan makanan tradisional yang lain. Perlu kreativitas para pembuatnya untuk menjadikan bahan-bahan mentah tadi menjadi jajanan pasar yang lezat. Novel, cerita pendek, naskah drama adalah bahan-bahan mentah yang nanti akan diolah dalam pikiran kita menjadi gambar-gambar seperti apa yang kita imajinasikan. Perlu kreatifitas otak untuk membuat tulisan-tulisan tadi menjadi sinetron hidup dalam pikiran kita. Sayangnya, kita tidak terlalu terbiasa bergelut dengan bahan-bahan mentah tadi. Kita tidak biasa dan dibiasakan untuk mengasah otak kita untuk berangan-angan sendiri, membuat gambar-gambar sendiri, membuat sinetron-sinetron sendiri. Kita terbiasa dengan barang-barang yang siap konsumsi karena lebih mudah tidak perlu berangan-angan, berimajinasi, membuat gambar sendiri karena gambar itu sudah ada didepan mata kita. Kita tidak peduli apakah gambar itu baik untuk kita yang penting gambar itu sudah ngawe-awe, kita tinggal menagkapnya. Marilah kita kasihani otak kita yang terlalu banyak mengkonsumsi bukan mencipta, jangan biarkan dia menderita obesitas. Biarkanlah otak kita sedikit demi sedikit berlatih mencipta gambar-gambar seperti apa yang dia inginkan, bukan gambar-gambar yang diinginkan oleh sang aktris atau aktor yang mereka sendiri mungkin juga tidak punya otak-otak yang bebas karena mereka diarahkan oleh sang sutradara, juga mungkin sang sutradara otaknya terkekang oleh sang produser, dan bisa saja produser otaknya terbelenggu oleh kinclongnya uang. Barang siapa mengenali dirinya maka dia mengenal Tuhannya. Itu kira-kira bunyi sebuah hadits qudsi yang mungkin membawa kita untuk sedikit merenung apakah benar kita sudah mengenal diri kita. Apakah itu diri kita yang kita lihat di layar televise. Anak SMP atau SMA yang roknya diatas lutut, yang kesekolah membawa mobil. Bahkan orang Jepangpun tertegun tatkala melihat sinetron Indonesia bahwa ternyata Indonesia tidak semerana yang terlihat di Aceh setelah tersapu tsunami, tapi ternyata orang Indonesia sugih-sugih karena mereka melihat di sinetron anak sekolah memakai mobil untuk pergi ke sekolah. Apakah itu kita yang udel-nya selalu terbuka, belahan pantatnya mengundang untuk dijamah, tonjolan payudaranya terguncang-guncang membuat tiap Adam menelan ludahnya. Tapi sinetron juga tidak harus selalu dijadikan bulan-bulanan karena dia hanyalah sebuah produk budaya, sebuah alat. Sinetron tumbuh pesat dalam pertelevisian kita, kita tidak bisa memungkiri hal tersebut. Bahkan ketika petuah, sabda, nasihat, ajaran dari pak kyai, romo, pendeta tidak lagi efektif orang menggunakan media sinetron untuk menyampaikan pesan-pesan tersebut. Walaupun mutu dan keberhasilan penyampaian pesan juga perlu ditimbang kembali. Sinetron tidak bisa kita hentikan, dia akan terus berjalan, kita harus bisa mengawalnya agar menjadi baik dan lebih baik. Maka biarkanlah sinetron jalan terus, tapi kita tidak harus terbelenggu olehnya, oleh tokoh-tokohnya, oleh perilaku tokohnya. Suatu saat ajaklah pikiran kita untuk terhanyut dalam cerita yang yang masih dalam belukar tulisan, bukan cerita yang sudah digambarkan dalam sinetron yang kita tinggal menikmatinya tanpa kita bersusah payah membuat gambar kita sendiri. Berilah kesempatan pada pikiran kita agar dia menggambarkan sendiri sosok Siti Nurbaya, si Doel, Gatotkaca, Den Hardo, Intan, Bawang Merah, Bawang Putih, Sangkuriang, Malin Kundang, Bandung Bondowoso, dan tokoh-tokoh yang lain.

0 komentar:

Posting Komentar